Selasa, 23 Februari 2010

Draf Revisi UU Pemilu Bocor


Jakarta, RM (23/2/2010). Draft revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang bocor itu menyebutkan bahwa politisi boleh menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketentuan itu dimuat dalam pasal 11 huruf O dan pasal 86.

Namun, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Gamari Sutrisno membantah keberadaan draft Rancangan Undang-undang (RUU) revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Paalnya, kata dia, Komisi II masih melakukan kajian akademis untuk merevisi undang-undang tersebut.

"Belum ada draf revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2007. Saat ini, kami masih melakukan kajian akademik untuk merevisi undangh-undang tersebut," ujarnya kepada Rakyat Merdeka di gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Kendali begitu, Gamari ini mengaku adanya wacana tentang masuknya unsur partai politik (parpol)ke dalam lembaga penyelenggara pemilu. Namun, dia menjelaskan, kapasitas unsur parpol itu bukan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Fungsinya sebagai supervisi. Karena, pengawasan terhadap KPU masih sangat kurang dan belum memadai. Isu tersebut juga baru diwacanakan beberapa orang anggota komisi, belum menjadi kesepakatan," jelas Gamari.

Ditanya, bagaimana draf revisi Undang-undangNomor 22 Tahun 2007 bisa beredar tanpa sepengetahuan Komisi II? "Itu saya nggak mengerti. Drafnya saja belum ada, tahu-tahu sudah ada ribut-ribut dominasi partai," jawab dia.

Senin, 15 Februari 2010

Memilih Calon Menteri

HM Gamari, Anggota FPKS DPR RI (Republika, 19/10/2009. Memilih dan mengangkat pejabatpejabat dalam pemerintahan, terutama memilih calon-calon menteri merupakan pekerjaan yang sangat urgen bagi pemimpin (presiden dan wakil presiden) ataupun rakyat biasa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki hak prerogratif, memilih dan mengangkat menteri untuk duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.

Sungguh pun demikian, melalui tulisan ini Saya sebagai wakil rakyat biasa terpanggil untuk merenungkan apa yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran tentang ayat kepemimpinan dan sunah Rasulullah Saw (al-hadis). Dalam ayat tentang kepemimpinan, Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu), apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri dari golonganmu. Kemudian, jika kamu berselisih dalam masalah sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.'' QS Annisa: 58-59).

Menurut jumhur ulama, ayat pertama di atas diturunkan untuk para waliyyul amr (pemimpin pemerintahan). Waliyyul amr ini selanjutnya memberi amanat kepada ahlinya (yang mampu mengembannya), dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaklah secara adil. Sedangkan ayat kedua, ditujukan untuk rakyat, yaitu agar mereka 'taat' kepada ulil amri yang menjadi pemimpin mereka dalam hal pembagian (hal waris dan sejenisnya), hukum, peperangan, dan lain sebagainya.

Mengenai taat kepada ulil amri, perlu dijelaskan bahwa kewajiban menaati ulil amri tersebut menjadi gugur (tidak berlaku) manakala ulil amri memerintahkan rakyatnya, berbuat maksiat kepada Allah SWT. Walaupun demikian, ulil amri masih punya hak untuk dipatuhi sepanjang perintah pimpinan tidak bertentangan dengan perintah Allah azza wa jalla, karena kepatuhan tersebut merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT, ''Dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.'' (QS Almaidah: 2).

Kewajiban pemimpin (presiden) untuk melakukan amanat dan memilih para pejabat pemerintah (menteri-menteri), sekaligus perintah untuk menetapkan hukum secara adil, merupakan sebuah kebijakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ibnu Taimiyah menggunakan metodologi pemilihan dan pengangkatan sebagai berikut.

Pertama, mengangkat yang ashlah (paling layak dan sesuai). Menurut riwayat, pada saat Rasulullah SAW menaklukkan Kota Makkah dan menerima kunci Ka'bah dari Bani Syaibah, kunci tersebut hendak diminta oleh Abbas bin Abdil Mutholib agar dia memegang dua tugas sekaligus, yaitu memberi minum jamaah haji serta menjadi pelayan Ka'bah. Kemudian, turunlah surat Annisa: 58-59 yang memberitahukan agar Rasulullah SAW tetap mempercayakan kunci itu kepada Bani Syaibah.

Kisah tersebut mengindikasikan adanya suatu kewajiban dari waliyyul amri (presiden) untuk mengangkat orang (calon menteri), yang paling kompeten dan layak menempati jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas secara efektif dan efisien. Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang mengangkat seseorang untuk mengurusi suatu perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara ia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang-orang yang diangkatnya maka ia telah berkhianat kepada Allah dan rasul-Nya.''

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa kebijakan yang harus diambil oleh waliyyul amri (pemimpin pemerintahan/ presiden) dalam memilih dan mengangkat para pejabatnya (calon-calon menteri), mutlak harus dilakukan melalui proses seleksi seketat mungkin.

Di samping itu, ada pesan di balik hadis tersebut, hendaknya jangan sekali-kali menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta jabatan. Rasulullah SAW bersabda kepada Abdul Rahman bin Sumarah, ''Wahai Abdul Rahman, janganlah kamu sekali-kali meminta jabatan, jika kamu memegang jabatan itu tanpa kamu minta, kamu akan diberi pertolongan untuk melaksanakannya. Namun, jika jabatan itu diberikan kepadamu karena kamu minta, dirimu akan terbebani karenanya.''

Kedua, memilih yang terbaik kemudian yang di bawahnya. Memilih dan mengangkat pejabat pemerintahan yang benar-benar mumpuni (memenuhi semua kriteria), tidaklah mudah dan bahkan tidak ada. Apabila tidak ditemukan profil/figur tanpa cela, harus diseleksi lagi secara selektif dari sejumlah calon yang ada dan kemudian dipilihlah yang mempunyai kualitas terbaik/-tertinggi.

Dengan demikian, waliyyul amri telah melaksanakan amanat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Pemimpin yang demikian inilah, menurut Ibnu Taimiyah, tergolong imam yang adil di sisi Allah meskipun dalam beberapa hal masih terdapat kekurangan yang tidak mungkin menghilangkannya.

Allah Swt berfirman, ''Bertakwalah kepada Allah kamu sekalian menurut kemampuan kalian.'' (QS At-Toghabun: 16).

''Allah tidak akan membebankan kepada jiwa, kecuali sesuai kemampuannya.'' (QS Albaqarah: 286).

Ketiga, mempunyai sifat quwwah (otoritas) dan amanat. Orang yang memiliki sifat quwwah sekaligus amanah sangatlah sedikit. Begitu juga, calon-calon menteri kabinet SBY. Bahkan, pada suatu ketika Umar Ibnu Khattab Ra berdoa, ''Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu karena kekuatan para pembuat dosa, dan ketidakberdayaan (kelemahan) orang yang dapat dipercaya.''

Prinsip mendasar untuk memilih pejabat-pejabat pemerintahan (menteri-menteri) adalah mengetahui yang paling sesuai dengan keahliannya (profesional), baik yang berasal dari partai politik maupun yang bukan berasal dari partai politik. Selain itu, hendaknya memiliki quwwah (otoritas) dan amanah (jujur dan dapat dipercaya). Sebagaimana firman Allah SWT, ''Kamu sesungguhnya orang yang paling baik untuk kami ambil (untuk bekerja pada kita) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.''

Kita berdoa semoga Presiden SBY sebagai pemimpin bangsa, memperoleh hidayah dari Allah SWT dalam memilih dan mengangkat menteri, yang benar-benar mencurahkan segenap daya-upayanya guna memperbaiki kondisi spiritual dan sosial rakyatnya. Sebagaimana diriwayatkan, ''Sehari dari kehidupan pemimpin yang adil itu lebih baik daripada ibadat selama 60 tahun.'' Semoga.
http://www.republika.co.id/koran/24/83224/Memilih_Calon_Menteri

Kabinet Ramping, Kaya fungsi

JAKARTA -- (RM, 11/1/2010) Gamari Sutrisno, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 2009-2014. Politisi kelahiran Blora, 12 Juni 1951 ini menilai, pemerintah belum reformis. Program reformasi birokrasi yang digembor-gemborkan, Gamari Sutrisno, masih belum melahirkan hasil yang maksimal.

"Ada tiga faktor utama dalam menjalankan reformasi birokrasi, yaitu reformasi kelembagaan, sumber daya manusia (SDM) dan tata kerja. Faktanya, pemerintah tidak menjalankan tiga hal tersebut," ujarnya kepada Rakyat Merdeka di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Dalam hal kelembagaan, lanjut Dia, pemerintah tidak membentuk kabinet yang rampingh struktur, namun kaya fungsi. Pemerintah membentuk banyak lembaga non struktural dan non departemen, seperti komisi dan badan.

"Terdapat lebih dari 90 lembaga non-struktural di negeri ini. Padahal, semangat reformasi birokrasi, menciptakan pemerintahan yang ramping struktur tapi kaya fungsi," tegas bekas Deputi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) ini.

SDM yang ada, sambung dia, juga belum memiliki mentalitas untuk bekerja secara efektif dan efisien. Hal ini karena penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah cacat sejak lahir. Dia bilang, jika ingin reformasi, seharusnya dilakukan sejak rekrutmen, penempatan hingga pengembangan karir.

"Faktanya, hasil seleksi PNS tidak pernah dilakukan secara transparan. Tidak diumumkan skor atau peringkat, cuma namanya," sesal Doktor Manajemen Komunikasi lulusan Cornell University, Amerika Serikat ini.

Terakhir, kata Gamari, keengganan pemerintah dalam menjalankan reformasi birokrasi tercermin dari tata kerja. Menurut dia, pembagian kewenangan antara pusat dan daerah belum mencerminkan adanya kinerja yang efektif dan efisien.

"Jadi, bisa disimpulkan pemerintah tidak reformis. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu untuk merubah semua itu? Ya, pasti mampu. Namun, pemerintah tidak memiliki kemauan untuk melakukan reformasi birokrasi secara holistic (menyeluruh), komprehensif (seluruh aspek) dan integral (terpadu)." tuturnya.

Dia memprediksi program 100 hari, program tahunan dan lima tahunan tidak bisa mencapai target. Implikasinya, tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat. "Caramerubahnya, harus dimulai pada level tertinggi pemerintah. Di negara, harus dimulai oleh presiden. Begitu pula pada tingkat propinsi, kabupaten/kota dan sebagainya,". (ONI)